Kelautan Nusantara (NGI)

Kelautan Nusantara (NGI)

Minggu, 28 Maret 2010

Mimpi Bohemian dari Bar Cecil

  • Foto hitam-putih itu buram. Direkam pada 1971, boleh jadi hasil reproduksinya kurang bagus atau klisenya terlalu tua: foto para pendiri Greenpeace di geladak perahu Phyllis Cormack. Perahu rongsokan dan orang-orang gondrong itu punya nilai sejarah. Mereka tengah merancang pelayaran menuju Amchitka dan Aleutian, gugusan pulau karang dekat Alaska, tempat Amerika mencoba bom nuklir. Dalam foto itu ada ekolog Patrick Moore dan Bill Darnel, anggota Sierra Club. Ada pula pengacara Paul Cote dan Irving Stowe, penganut Quakerisme yang anti-kekerasan. Mantan operator radar Angkatan Laut Amerika, Jim Bohlen, ikut bergabung. Bohlen lari dari Amerika setelah menolak mengirim anaknya ke Perang Vietnam. Urusan mesin kapal ditangani Dave Birmingham. John Cormack menjadi kapten. Bohlen dan Stowe yang mula pertama mencetuskan ide pelayaran tersebut. Beberapa wartawan turut meramaikan pelayaran. Ada Robert Hunter dari harian The Vancouver Sun, wartawan radio CBC Kanada Ben Metcalfe, Bob Cummings dari Georgia Straight, dan Bob Keziere, seorang fotografer lepas.
    Sekumpulan tukang protes dan sebagian hippies yang seolah-olah tak punya masa depan—bohemian, berantakan, alkoholik, dan pemadat—mereka biasa merubung meja penuh bir di sebuah bar di Hotel Cecil, Vancouver. Mereka memilih meja dekat telepon umum agar mudah menghubungi para aktivis dan wartawan. Di antara busa bir murahan, mereka duduk berdebat tentang segala soal, karma, Mao, Marxisme, Freudianisme, nuklir, yoga, dan ekologi, yang sedang naik daun karena pengaruh gerakan lingkungan hidup di Amerika. Belakangan, setelah Cecil menampilkan tarian telanjang, mereka pindah ke Bar Bimini, tak jauh dari situ.
    Peace adalah ucapan pembuka yang populer dalam pertemuan para hippies. Hari itu, dalam sebuah pertemuan di ruang bawah tanah Gereja Unitarian Vancouver, ketika pelayaran ke Amchitka telah disepakati, Darnell, yang tak banyak bicara, tiba-tiba bersuara lirih, "Make it green peace." Kata itu terasa bulat dan pas dengan aksi mereka. Maka, lahirlah Greenpeace. Anak Bohlen, Paul Nonnast, bertugas mencari uang dengan menjual pin-pin bundar. Pin itu garis luarnya berwarna hijau dan di bagian tengah agak ke bawah ada tanda V terbalik sebagai simbol perdamaian. Lalu, di atas huruf itu, simbol ekologi berupa sebatang kayu lurus. Telah lahir pula lambang Greenpeace.
    Cara beraksi ditetapkan tanpa kekerasan. Hanya berdiri pasif menjadi saksi bisu perkara-perkara lingkungan. Datang, lihat, dan diam. Persis cara protes orang Quaker di Amerika. Tiap petang, laporan Metcalfe berkumandang di seluruh Kanada dan Hunter menuliskannya sebagai berita utama di Vancouver Sun. Walaupun akhirnya diusir Angkatan Laut Amerika, Greenpeace telanjur menjadi buah bibir. Wartawan menunggu cerita mereka di pelabuhan. Suku Indian Kwakuitl di Amchitka memberi hadiah lambang kehidupan suku itu berupa gambar dua ikan paus dalam lingkaran. Sampai hari ini Greenpeace masih memasangnya di kapal Rainbow Warrior. Lima bulan kemudian Amerika menyatakan berhenti mencoba nuklir di kawasan itu.
    Perubahan radikal dalam gerakan Greenpeace terjadi tiga tahun kemudian, ketika Paul Spong, seorang pakar ikan paus, ikut mengobrol di Cecil. Ia mengalihkan topik anti-nuklir ke anti-perburuan paus—sekaligus menyuntikkan radikalisme pada Greenpeace. Ia menantang mereka dengan taktik baru, yaitu memalangkan kapal Greenpeace di antara kapal pemburu paus dan buruannya.
    Kampanye pun melebar ke masalah radioaktif, hujan asam, penipisan ozon, pembuangan limbah di laut, serta hutan tropis. Foto-foto yang merekam aksi Greenpeace—disebarkan oleh kantor-kantor berita ke seluruh dunia—sungguh menyandera mata: kapal mereka memotong jalur kapal paus, aktivis mengikatkan dirinya ke jangkar kapal, memanjat gedung dan menara tinggi, atau melakukan terjun payung di kawasan pembangkit nuklir.
    Kampanye anti-perburuan ikan paus itu berhasil memaksa komisi internasional ikan paus mengeluarkan moratorium perburuan paus selama tiga tahun. Penghentian ekspor limbah beracun ke negara berkembang masuk dalam Konvensi Basel tahun 1995, menandai kemenangan besar kampanye Greenpeace. Kemenangan lain menyusul: larangan pembuangan limbah radioaktif dan limbah beracun lainnya ke dalam laut, penundaan pemakaian klorin, dan traktat pemusnahan senjata nuklir di seluruh dunia.
    Greenpeace mulai memakan korban belasan perusahaan multinasional Perusahaan minyak Shell, misalnya, harus kehilangan 30 persen pendapatannya gara-gara Greenpeace menentang rencana mereka mengubur rig minyak Brent Spar di dasar Laut Utara. TotalFina dan ESSO dicitrakan sebagai perusahaan pencemar ozon. Monsanto harus menghitung kembali keuntungan dalam angan-angan mereka karena Greenpeace menentang pemasaran produk transgenik mereka di seluruh Eropa. Salah satu kampanye tersukses Greenpeace adalah penghapusan bahan CFC, HFC, dan HCFS, yang merusak lapisan ozon, dari kulkas dan mesin pembeku. Sekarang, kulkas dengan tanda ozone free—tanpa gas perusak ozon—menjadi tren di seluruh dunia.
    Sukses Greenpeace mulai menuai kritik tajam. Sebagian anggotanya menganggap organisasi itu sekarang dikendalikan oleh bagian keuangan. "Mereka terlalu mengontrol kampanye kami," kata seorang aktivis kepada TEMPO. Katanya, lobi-lobi politik tingkat tinggi Greenpeace, seperti pertemuan dalam Uni Eropa, Forum Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, banyak sekali menghabiskan uang organisasi. Adapun Robert Hunter mengeluhkan tetek bengek protokoler di Greenpeace. Umpama, Greenpeace punya buku panduan untuk media yang tebalnya melebihi buku telepon Kota Toronto. Paul Watson, salah satu pentolan yang sezaman dengan Hunter, kecewa ketika Greenpeace memprotes aksinya menghalangi kapal pemburu paus Norwegia dengan alasan perburuan itu sudah mengikuti kaidah lingkungan. "Harus diingatkan dari mana mereka (anggota Greenpeace yang memprotes itu—Red) berasal," ujarnya dengan kesal.
    Dalam beberapa isu, mereka juga dianggap keterlaluan. Misalnya, dukungan terhadap pembatasan pembangunan dan penggunaan teknologi canggih di negara-negara miskin di dunia. The Congress of Racial Equality menyebut mereka pembantai manusia atas nama lingkungan. Kepindahan bekas Direktur Greenpeace Inggris, Lord Peter Melchett, ke Burston Marsteller juga jadi berita. Marsteller adalah perusahaan jasa kehumasan. Salah satu kliennya adalah Monsanto, musuh besar Greenpeace dalam isu transgenik. Dan Melchett pernah dipenjara gara-gara merusak tanaman transgenik yang dibiayai Monsanto. Lalu, ketika menggalang kampanye anti-produk Shell, mereka salah membaca hasil uji sampel sehingga data ilmiah yang disajikan sebagai argumentasi mempermalukan berbagai media massa yang telah memuatnya.
    Sejak itulah para wartawan mulai bersikap kritis terhadap sepak terjang Greenpeace.

    08 Maret 2004
    sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2004/03/08/SEL/mbm.20040308.SEL89733.id.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar